Saat Rasulullah Menegur Sahabat yang Berlebihan dalam Beribadah

Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, parameter prestasi seorang hamba di hadapan Tuhannya bukan dilihat dari sebanyak apa hartanya, setinggi apa jabatannya, dan hal-hal materialistik lainnya. Tetapi, sejauhmana ia memiliki semangat religius sebagai hamba yang taat. Allah ta’âlâ dalam Al-Qur’an berfirman :
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti” (QS Al-Hujurat [49]: 13).

Secara tegas Allah ta’ala mengatakan bahwa kemuliaan seorang hamba di sisi-Nya bukan dilihat dari status sosial di dunia, malainkan sejauh mana tingkat ketakwaannya. Hanya saja perlu kita catat, ketakwaan di sini adalah ketakwaan yang juga didasari penguasaan ilmu agama yang cukup. Orang yang rajin beribadah saja tanpa landasan ilmu, justru berbahaya bagi dirinya. (Habib Abdullah al-Haddad, Risâlatul Mu’âwanah, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2016], h. 38).

Beribadah Tidak Berlebihan Bukan berarti karena Islam mempriortaskan ibadah, lantas seorang muslim harus beribadah siang dan malam tanpa mempedulikan hak-hak dirinya sebagai manusia biasa. Memang, seorang muslim yang rajin bangun malam untuk shalat tahajud, sangat bagus, apalagi jika ditambah puasa sunnah di siang harinya. Tetapi jika terlalu berlebihan, sampai akhirnya hak-hak fisik sebagai manusia terabaikan, justru ibadah akan menyiksa diri. Rasulullah tidak menghendaki demikian.

Dalam ajaran Islam, antara kehidupan dunia dan akhirat harus balance ‘seimbang’. Artinya, jangan sampai seseorang hanya sibuk mengurusi dunia saja, tapi urusan akhirat ia lupakan. Pun sebaliknya, terlalu sibuk beribadah, hingga urusan duniawi dan hak-hak dirinya sebagai manusia ia abaikan.   Allah ta’âlâ berfirman dalam Al-Qur’an,

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Al-Baqarah [2]: 201)   Pada ayat di atas yang juga biasa disebut ‘doa sapu jagat’, Allah menegaskan kepada hamba-Nya agar meminta keseimbangan antara dunia dan akhirat. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud kebaikan dunia di sini adalah capaian-capaian duniawi seperti kesehatan, rezeki yang lancar, ilmu yang manfaat, dan sebagainya. Sementara kebaikan akhirat adalah segala kenikmatan yang ada di akhirat, termasuk yang tertinggi adalah surga. (Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur’ânil ‘Adzîm, [Giza: Maktabah Auladisy Syaikh, 2000], juz II, h. 262) .

Dalam satu hadits riwayat Imam al-Bukhari dikisahkan, suatu hari datang tiga orang sahabat ke istri-istri Nabi. Mereka semua penasaran dengan laku ibadah Nabi. Sebagai orang yang tinggal serumah, istri Nabi tentu lebih tahu detail aktivitas Nabi, termasuk dalam hal ibadah.   Kunjungan tiga sahabat itu tidak diketahui oleh Rasulullah. Begitu mereka mendengar penjelasan apa dan bagaimana ibadah Nabi, mereka heran, ternyata ibadah Nabi tidak sesuai dengan ekspektasi yang mereka bayangkan. Dalam pandangan mereka, sebagai Nabi yang tentu memiliki tingkat spiritualitas tinggi, ibadahnya pasti luar biasa. Tapi realitasnya tidak demikian.

Mereka pun berkesimpulan, “Wajar Nabi ibadahnya sedikit begitu, ia kan sudah dijamin mendapat ampunan dari Allah. Kalau kita? Ya tetap harus berlomba dalam beribadah. Siapa yang ibadahnya paling hebat, dia lah yang pahalanya terbanyak,” hemat mereka.   Sejurus kemudian, mereka bertekad untuk beribadah dengan lebih melangit lagi. Ada yang berjanji akan melaksanakan shalat malam selamanya. Ada pula yang bersikukuh untuk berpuasa setiap hari. Bahkan, ada juga yang mantap menyatakan untuk membujang seumur hidup demi fokus beribadah.

Previous Article
Next Article

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *